TAHUN2015. PANDANGAN IMAM AL-GHAZALI TERHADAP TUHAN, MANUSIA DAN ALAM. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama’ besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al-Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam
4 Pendekatan Imam Al-Ghazali. Keempat, pendekatan Imam Al-Ghazali yang mengemukakan pendapatnya bahwa seseorang dilahirkan dalam kondisi membawa fitrah yang sehat serta seimbang, yang kemudian kedua orang tuanya serta lingkungannya berada yang memberikan pendidikan. Pada teori ini, sifat tersebut tidak dapat diubah baik oleh pendidikan
yangdibuat oleh manusia.9 Menurut Imam Al Ghazali, lafadz khuluq dan khalqu adalah dua sifat yang dapat dipakai bersama. Jika menggunakan kata khalqu maka yang dimaksud adalah bentuk lahir, sedangkan jika menggunakan kata khuluq maka yang dimaksud adalah bentuk batin.10 Secara istilah pengertian pendidikan ahklak yang digunakan oleh Imam
Selainitu, Al Ghazali juga membagi sifat manusia ke dalam empat jenis yang menjadi potensi alami yang dapat dikembangkan dan dikendalikan dengan pembelajaran. Pertama, sifat hewan liar Ibnu Qayyim merupakan Imam Sunni, cendekiawan, penghafal Al-Qur’an, ahli tafsir, ahli hadist, ahli ilmu nahwu, ahli ilmu kalam, dan ahli ushul.
Imamal-Ghazali raḥimahullāh menjelaskan adab-adab yang harus diperhatikan oleh murid atau para penuntut ilmu dalam kitabnya Ihya Ulumuddin (2005). Adab bagi penuntut ilmu ini dibahas oleh Imam al-Ghazali raḥimahullāh pada bab kelima jilid pertama dengan judul bab adab-adab penuntut ilmu dan pengajar. Pada artikel ini, akan dijelaskan 5 di antara 10 adab yang
TasawufImam Al Junaidi Al Baghdadi Dan Aswaja. Menurut al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sirr-al-qalb dan rúh. Pada saat sir, qalb dan ruh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat
Menurutahli tasawuf agar manusia mengenal tuhannya maka harus mempunyai pengetahuan tentang dirinya, kwallitas-kwalitas dan tabiat manusia (insaniah) dan rahasia-rahasia didalamnya, karena seseorang yang tidak mengenal dirinya, akan lebih sulit mengenal Tuhannya. “barangsiapa mengenal dirinya sendiri maka ia akan mengenal tuhannya”.
Orangyang tak pernah tidur dalam jangka waktu lama, tentu akan jatuh sakit. Sedemikian penting aktivitas tidur bagi manusia, maka Imam al-Ghazali memberikan nasihatnya tentang adab tidur sebagaimana termaktub dalam risalahnya berjudul Al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, halaman 434
. Karakter atau watak adalah sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu. Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan. Dilihat dari karaktaristiknya, menurut Imam al-Ghazali Ihya Ulum al-Din, III/119, manusia memiliki empat macam karakter, yaitu 1. Al-Rubu’iyah, yaitu sifat “ketuhanan” yang terdapat pada diri manusia yang apabila telah menguasai diri manusia maka ia ingin menguasai, menduduki jabatan yang tinggi, menguasai ilmu apa saja, suka memaksa orang lain dan tak mau direndahkan, maunya hanya dipuji. Orang yang memiliki tabiat ini adalah orang yang cenderung memelihara segala perbuatan menuju keridhoan Allah. Ia melahirkan sifat belas kasih, ikhlas, kasih sayang, suka membela yang lemah, suka menyantuni dan segala sifat terpuji lainnya yang cenderung mendekat pada keridhoan Allah. 2. Al-Syaithaniyah, yaitu sifat “kesetanan” yang ada pada diri manusia yang apabila telah menguasai dirinya ia akan suka merekayasa dengan tipu daya dan meraih segala sesuatu dengan cara-cara yang jahat. Di sini mansia suka mengajak pada perbuatan bid’ah, kemunafikan dan berbagai kesesatan lainnya. Orang yang memiliki tabiat ini adalah orang yang gemar berusaha memperdayakan manusia. Ia suka mempengaruhi orang lain agar terperosok ke jurang kenistaan. Hampir segala waktu dikuasai tabiat ini untuk menyeret manusia menuju keburukan. Karena kebaikan yang dilakukan manusia berarti menyakiti dirinya, maka selalu diupayakan agar manusia terjauhkan daripadanya. 3. Al-Bahimiyah, yaitu sifat manusia berupa “kehewanan” yang apabila telah menguasai dirinya ia akan rakus, tamak, suka mencuri, makan berlebihan, tidur berlebihan dan bersetubuh berlebihan, suk berzina, berprilaku homoseks dan lain sebagainya. Orang-orang yang memilki tabiat ini lebih mengedepankan nafsu syahwatnya, demi kesenangannya. Akal sehat yang harus dimiliki sudah dikuasai oleh nafsu syahwatnya. 4. Al-Sabu’iyah, yaitu sifat “kebuasan” yang apabila menguasai diri manusia ia akan suka bermusuhan, berkelahi, suka marah, suka menyerang, suka memaki, suka berdemo, anarkis, cemburu berlebihan dan lain sebagainya. Orang yang memiliki tabiat seperti ini adalah orang yang maunya menang sendiri, enak sendiri, mulia sendiri, terpuji sendiri. Ia tidak suka ada yang menyaingi. Karena itu kebaikan apa saja yang hendak sampai ke orang lain, dicegah menurut kemampuannya. Tabiat ini sangat erat dengan kedengkian, iri, hasud dan cemburu, manakala orang lain memperoleh nikmat. Singkatnya segala kesenangan menjadi miliknya, segala kesusahan menjadi milik orang lain. Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang empat karakter yang dimilki oleh manusia. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari karakter-karakter buruk dan jahat. Aamiin.
Blog Sosial Sabtu, 29 April 2017 - 0458 WIB Ilustrasi memahami karakter orang. Sumber Pixabay/ Public Domain Pictures – Karakter atau watak adalah sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan, yang mengarahkan tindakan seorang itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu. Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan. Dilihat dari karaktaristiknya, menurut Imam al-Ghazali, manusia memiliki empat macam karakter. Kami kirim berita paling update di pagi dan sore hari langsung ke telegram Kamu! Pssst ada quiz dan giveaway juga Topik Terkait Karakter Jangan Lewatkan Terpopuler Selengkapnya VIVA Networks Akhirnya harga Toyota Yaris Cross diumumkan, sudah bisa dipesan di diler meskipun belum ada harga resmi sejak Mei, hari ini, Selasa 13 Juni 2023, PT Toyota Astra Motor. Marc Marquez bertekad untuk bangkit meraih poin kembali pada MotoGP Jerman 2023, akhir pekan ini. Setelah gagal finis di Italia dan Prancis karena mengalami crash. Selengkapnya Isu Terkini
Setiap manusia memiliki karakter yang berbeda. Tentu hal ini merupakan fitrah dari Allah SWT. tidak ada yang sama, termasuk dalam hal hubungan mereka dengan sesama perbedaan itu bukanlah suatu masalah jika memiliki hati yang baik dan takwa, tentunya tidak hanya secara vertikal, yakni antara manusia dengan Sang Pencipta, tetapi juga secara horizontal, yakni antara manusia dengan manusia yang al-Ghazali, dalam kitab Bidâyatul Hidâyah menjelaskan bahwa ada tiga kategori golongan manusia, dilihat dari cara mereka bergaul dan bersosialisasi dengan sesama menyebutkan bahwa dalam hubungan sesamanya, manusia terbagi menjadi tiga manusia yang tergolong dalam derajat yang mulia sebagaimana derajatnya para Imam al-Ghazali, orang-orang yang termasuk dalam kategori ini senantiasa berbuat baik dengan sesama manusia, tidak hanya berbuat baik, mereka juga senantiasa memberikan kebahagian kepada sesama. Tidak hobi menyakiti orang lain, juga tidak suka berperilaku menyimpang kepada orang manusia seperti inilah yang disebut Imam al-Ghazali sebagai golongan yang termasuk “Manzilatul kirâm al-bararah minal malâikah”, yakni golongan manusia yang sikapnya setara dengan golongan malaikat yang manusia yang setara dan sederajat dengan hewan dan benda-benda mati. Oleh al-Ghazali disebut setara dengan hewan dan benda mati, karena keberadaannya tidak memberikan dampak dan manfaat bagi orang lain, tetapi malah memberikan madharat dan bahaya bagi orang benda-benda mati, ia hanya stagnan, tidak bergerak, dan pula tidak memberikan dampak yang signifikan bagi kehidupan manusia yang golongan yang terakhir adalah golongan yang sama dengan golongan hewan-hewan buas, seperti ular, kalajengking dan hewan-hewan berbahaya yang penulis Ihyâ’ Ulûmiddin ini, manusia yang termasuk golongan ini menjadi momok bagi manusia lain. Tidak ada kebaikan yang bisa diharapkan, dampak bahayanya sangat atau tidak, dalam kehidupan bermasyarakat, pasti kita temukan orang-orang yang seperti ini, baik golongan pertama kedua maupun ketiga. Imam al-Ghazali menyarankan agar kita bergaul dan berinteraksi dengan golongan yang pertama, agar kita tidak mendapatkan al-Ghazali juga menyarankan agar kita senantiasa berusaha untuk menjadi bagian kelompok pertama. Jika kita tidak mampu, berusahalah agar tidak menjadi golongan kedua maupun a’ ini sebelumnya telah dimuat di NU Online.
ADALAH Syeikh Imam al Ghazali atau bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafii adalah ulama produktif. Tidak kurang 228 kitab telah ditulisnya, meliputi berbagai disiplin ilmu; tasawuf, fikih, teologi, logika, hingga filsafat. Sang Hujjatul Islam julukan ini diberikan karena kemampuan daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah ini sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah, yang merupakan pusat kebesaran Islam. Al Ghazali pernah membagi manusia menjadi empat 4 golongan; Pertama, Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri Seseorang yang Tahu berilmu, dan dia Tahu kalau dirinya Tahu. Orang ini bisa disebut alim = mengetahui. Kepada orang ini yang harus kita lakukan adalah mengikutinya. Apalagi kalau kita masih termasuk dalam golongan orang yang awam, yang masih butuh banyak diajari, maka sudah seharusnya kita mencari orang yang seperti ini, duduk bersama dengannya akan menjadi pengobat hati. “Ini adalah jenis manusia yang paling baik. Jenis manusia yang memiliki kemapanan ilmu, dan dia tahu kalau dirinya itu berilmu, maka ia menggunakan ilmunya. Ia berusaha semaksimal mungkin agar ilmunya benar-benar bermanfaat bagi dirinya, orang sekitarnya, dan bahkan bagi seluruh umat manusia. Manusia jenis ini adalah manusia unggul. Manusia yang sukses dunia dan akhirat,” ujarnya. Kedua, Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri Seseorang yang Tahu berilmu, tapi dia Tidak Tahu kalau dirinya Tahu. Untuk model ini, bolehlah kita sebut dia seumpama orang yang tengah tertidur. Sikap kita kepadanya membangunkan dia. Manusia yang memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari kalau dirinya memiliki ilmu dan kecakapan. Manusia jenis ini sering kita jumpai di sekeliling kita. Terkadang kita menemukan orang yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa, tapi ia tidak tahu kalau memiliki potensi. Karena keberadaan dia seakan gak berguna, selama dia belum bangun manusia ini sukses di dunia tapi rugi di akhirat. Ketiga, Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri Seseorang yang tidak tahu tidak atau belum berilmu, tapi dia tahu alias sadar diri kalau dia tidak tahu. Menurut Imam Ghazali, jenis manusia ini masih tergolong baik. Sebab, ini jenis manusia yang bisa menyadari kekurangannnya. Ia bisa mengintropeksi dirinya dan bisa menempatkan dirinya di tempat yang sepantasnya. Karena dia tahu dirinya tidak berilmu, maka dia belajar. Dengan belajar itu, sangat diharapkan suatu saat dia bisa berilmu dan tahu kalau dirinya berilmu. Manusia seperti ini sengsara di dunia tapi bahagia di akhirat. Keempat, Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri Seseorang yang Tidak Tahu tidak berilmu, dan dia Tidak Tahu kalau dirinya Tidak Tahu. Menurut Imam Ghazali, inilah adalah jenis manusia yang paling buruk. Ini jenis manusia yang selalu merasa mengerti, selalu merasa tahu, selalu merasa memiliki ilmu, padahal ia tidak tahu apa-apa. Repotnya manusia jenis seperti ini susah disadarkan, kalau diingatkan ia akan membantah sebab ia merasa tahu atau merasa lebih tahu. Jenis manusia seperti ini, paling susah dicari kebaikannya. Manusia seperti ini dinilai tidak sukses di dunia, juga merugi di akhirat. Untuk itu mari kita intropeksi diri masing-masing, di kelompak manakah kita berada. Semoga Bermanfaat.*/Kholili Hasib
loading...Allah taala menjadikan nafsu dalam dua bentuk yaitu nafsu mutmainah dan nafsu lawwamah, kedua nafsu ini selalu bertarung setiap harinya dalam diri manusia. Foto ilustrasi/ist Alkisah, ada pertempuran sengit tentang nafsu manusia . Ketika Allah ta'ala menjadikan nafsu dalam dua bentuk yaitu nafsu mutmainah dan nafsu lawwamah."Bukankah aku ini Tuhanmu?" berkata Allah kepada kedua nafsu tersebut. Lantas nafsu mutmainah menjawab, "Benar Ya Allah. Kami bersaksi, Engkaulah Tuhan kami." Nafsu ini senantiasa tunduk dan patuh terhadap perintah Allah. Ia mengakui bahwa Allahlah yang paling tinggi. Nafsu mutmainahlah yang akan mengarahkan manusia agar selalu mendengarkan perintah Allah. Orang-orang yang memihak pada nafsu mutmainah akan selalu diridhai Allah. Baca Juga Namu hal sama tak terjadi pada nafsu lawwamah. Ketika ditanya pertanyaan yang sama, ia terdiam, tidak menolah tapi juga tidak mengiyakan. Karena itu, Allah memasukkan nafsu lawwamah ke dalam neraka Jahim. Walau dihadapkan pada api neraka Jahim, nafsu ini tetap diam. Setelah diangkat dari tempat terhina itu, Allah kembali menanyakan hal yang sama. Namun nafsu lawwamah masih tak Allah tempatkan nafsu lawwamah di neraka Jahanam. Api neraka telah membakar nafsu ini, sedang ia masih membisu. Setelah diangkat lagi dan ditanyakan hal yang sama, ia masih Allah menempatkan nafsu lawwamah ke neraka Wail. Nereka yang menyiksa penghuninya dengan suhu yang sangat dingin. Nafsu ini ternyata tak tahan dan berteriak meminta ampun seraya berkata, "Benar, Ya Allah. Kami bersaksi, Engkaulah Tuhan kami." Lalu Allah mengangkat dan dijadikan satu dengan nafsu lawwamah mempunyai sifat yang bertolak belakang dengan mutmainah. Ia terus saja mengingkari bahwa Allah adalah Tuhannya. Sifat membangkangnya itu yang kemudian membuat Allah memasukkanya ke dalam neraka Wail. Orang-orang yang memihak pada nafsu lawwamah akan selalu mengedepankan kepentingan pribadi dan membela pada di dunia, mereka akan selalu bersaing mengenai siapa yang paling berkuasa terhadap suatu manusia tergantung jalan hidup yang pilihnya. Jika seseorang hendak beramal dengan keadaan uang yang pas-pasan, maka berkatalah nafsu mutmainah, “Sesungguhnya uang yang engkau amalkan akan menolongmu ketika di hari pembalasan.” Sedangkan nafsu yang satunya, lawwamah akan berkata, “Sungguh dirimu dalam keadaan kekurangan hari ini. Hendaknya engkau beramal ketika mempunyai uang yang lebih banyak.”Menurut Imam Al Ghazali, perang dan pertarungan melawan nafsu berlangsung setiap saat. Dalam pertarungan ini, kita bisa menang pada suatu waktu, tetapi kalah pada waktu yang lain. Begitulah seterusnya, menang dan kalah silih bagi orang-orang tertentu, yang terpelajar dan terlatih, serta mendapat pertolongan dari Allah, mereka mampu menaklukkannya dan keluar sebagai pemenang. Mereka itulah yang dinamakan petarung sejati. Allah SWT menjanjikan kemuliaan dan surga kepada mereka. "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal-nya." QS al-Nazi`at40-41. Baca Juga 3 Tingkatan Perang Melawan Hawa NafsuDalam buku Mizan al-'Amal, Imam Ghazali menyebutkan tiga tingkatan manusia dalam pertempuran hawa nafsu ini. Yakni1. Orang yang sepenuhnya dikuasai oleh hawa nafsunya dan tidak dapat melawannya sama sekali. Ini merupakan keadaan manusia pada umumnya. Dengan begitu, ia sungguh telah mempertuhankan hawa nafsunya seperti dimaksud ayat iniأَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ ''Maka, pernahkah kamu melihat orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya.'' Al-Jatsiyah 23.2. Orang yang senantiasa dalam pertarungan melawan hawa nafsu. Pada suatu kali ia menang dan pada kali yang lain ia kalah. Kalau maut merenggutnya dalam pertarungan ini, maka ia tergolong mati syahid. Dikatakan demikian, karena ia sedang dalam perjuangan melawan hawa nafsu sesuai perintah Nabi SAW, ''Berjuanglah kamu melawan hawa nafsumu sebagaimana kamu berjuang melawan musuh-musuhmu.'' Ini merupakan tingkatan manusia yang tinggi di bawah para nabi dan wali-wali Allah.
loading...Imam Ghazali perjalanan manusia di dunia ini bisa dikelompokkan dalam empat tahap - yang inderawi, eksperimental, instingtif dan rasional. Foto/Ilustrasi Ist Imam al-Ghazali menyebut perjalanan manusia di dunia ini bisa dikelompokkan dalam empat tahap - yang inderawi, eksperimental, instingtif dan rasional. Dalam bukunya berjudul "The Alchemy of Happiness" dan diterjemahkan Haidar Bagir menjadi " Kimia Kebahagiaan ", Imam al-Ghazali menjelaskan dalam tahap yang pertama ia seperti seekor rayap yang, meskipun memiliki penglihatan, tak punya kemampuan mengingat dan akan menghapuskan dirinya terus-menerus pada lilin yang sama. Baca Juga Tahap kedua, ia seperti seekor anjing yang, setelah sekali digigit, akan lari ketika melihat sebatang rotan pemukul. Pada tahap ketiga, ia seperti seekor kuda atau domba yang, secara instingtif, terbang seketika tatkala melihat seekor macan atau srigala - musuh-musuh alaminya - sementara mereka tak akan lari jika melihat seekor unta atau kerbau, meskipun kedua binatang ini lebih besar ukurannya. Di dalam tahap yang keempat manusia sama sekali mengatasi batas-batas binatang itu sehingga mampu, sampai batas tertentu, meramalkan dan mempersiapkan diri bagi masa depan. Gerakan-gerakannya pada mulanya bisa dibandingkan dengan berjalan biasa di atas tanah, kemudian menyeberangi laut dengan sebuah kapal, kemudian pada pendaratan keempat - ketika ia sudah akrab dengan hakikat-hakikat - berjalan di atas air. Baca Juga Sementara itu, di balik dataran ini masih ada dataran kelima yang dikenal oleh para nabi dan wali yang bisa dibandingkan dengan terbang mengarungi kata Imam al-Ghazali, manusia punya kemampuan untuk dada pada berbagai dataran yang berbeda, mulai dari dataran hewaniah sampai dataran malaikat. Dan persis dalam hal inilah terletak bahayanya, yaitu dari kemungkinan jatuh ke dataran yang paling rendah. Di dalam al-Qur'an tertulis, "Telah Kami tawarkan yaitu tanggung jawab atau kehendak bebas kepada lelangit dan bumi serta gunung-gunung; mereka menolak untuk menanggungnya. Tetapi manusia mau mananggungnya. Sesungguhnya manusia itu bodoh." "Tidak hewan tidak pula malaikat bisa mengubah tingkat dan tempat ia ditempatkan," ujar Imam al-Ghazali. "Tetapi seseorang bisa tenggelam ke dataran hewaniah atau terbang ke dataran malaikat, dan inilah arti dari 'penanggungan beban' sebagaimana disebutkan di atas oleh al-Qur'an," jelasnya. Menurut Imam al-Ghazali, sebagian besar manusia memilih untuk berada di dua tahap terendah tersebut di atas, dan yang tetap tinggal biasanya selalu bersikap bermusuhan dengan orang yang bepergian atau musafir yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Baca Juga Temuan Ahli Ilmu KalamBanyak orang dari kelas yang disebut terdahulu, karena tidak memiliki keyakinan yang teguh tentang dunia yang akan datang, ketika dikuasai oleh nafsu-nafsu inderawi, menolaknya sama sekali. Mereka berkata bahwa neraka adalah suatu temuan para ahli ilmu kalam belaka untuk menakut-nakuti orang. Mereka memandang para ahli ilmu kalam dengan penghinaan terbuka. "Berdebat dengan orang-orang seperti ini sedikit sekali manfaatnya. Meskipun demikian, ada yang bisa dikatakan pada orang yang seperti ini yang mungkin bisa membuatnya berhenti dan merenung," ujar Imam al-Ghazali. "Benarkah anda sungguh-sungguh berpikir bahwa nabi dan wali yang percaya pada kehidupan masa akan datang semuanya salah dan anda, yang menolaknya, benar?" Jika ia menjawab, "Ya," saya sedemikian yakin - sebagaimana saya yakin bahwa dua lebih besar daripada satu - bahwasanya jiwa dan kehidupan masa depan dalam bentuk kebahagiaan maupun hukuman itu tidak ada, maka manusia seperti itu sudah tidak mempunyai harapan lagi. Yang bisa diperbuat hanyalah meninggalkannya sendiri sembari mengingat kata-kata al-Qur'an, "Meskipun kau peringatkan mereka, mereka tak akan ingat."Tetapi jika ia berkata bahwa kehidupan masa depan adalah suatu kebolehjadian, hanya bahwa doktrin itu penuh mengandung keraguan dan misteri, sehingga tidak mungkin untuk bisa memutuskan benarkah hal itu atau tidak, maka seseorang bisa berkata kepadanya, "Jika demikian, sebaiknya anda selesaikan baik-baik keraguan itu." Baca Juga
Secara filosofis, memandang manusia berarti berpikir secara totalitas tentang diri manusia itu sendiri, struktur eksistensinya, hakikat atau esensinya, pengetahuan dan perbuatannya, tujuan hidupnya, dan segi-segi lain yang mendukung, sehingga tampak jelas wujud manusia yang sebenarnya. Jika kita 118A. Mudjab Mahali, Pembinaan Moral di mata Al-Ghazali, Yogyakarta BPFE. 1984 cet 1. pahami manusia sebagai makhluk historis, karena keberadaannya mempunyai sejarah, ia senantiasa berubah dari masa ke masa, baik pola pikir maupun pola hidupnya. Oleh karena itu, manusia dalam kurun waktu tertentu berbeda dengan manusia dalam kurun waktu yang lain. Dalam kaitannya dengan eksistensi manusia, perbedaan itu terletak hanya pada unsur dan sifatnya yang kasat mata, sedang hakikatnya adalah Al-Ghazali sebagai filosuf Muslim yang hidup di Abad pertengahan tidak terlepas dari kecendrungan umum zamannya dalam memandang manusia. Karya-karyanya baik dalam bidang filsafat maupun tasawuf, yang mengupas tentang manusia dapat dipahami bahwa esensi atau hakikat manusia adalah jiwanya, jiwa merupakan identitas tetap manusia. Jiwa manusia merupakan subtansi Immaterial yang berdiri sendiri, ia tidak terdiri dari unsur-unsur yang membentuknya, sehingga ia bersifat kekal dan tidak hancur. Imam Al-Ghazali membagi struktur kerohanian manusia menjadi empat unsur, yaitu qalb, ruh, nafs, dan akal. Keempat unsur tersebut masingmasing mempunyai dua arti. qalb hati Pengertian pertama adalah berupa fisik, yakni sebagai daging berbentuk sanubari yang ada disisi kiri dada, sementara pada sisi dalamnya ada lubang yang berisi darah yang merupakan sumber ruh yang kedua diartikan secara lebih halus, yaitu yang berkaitan dengan rabbaniyah ketuhanan, rohaniyah kerohanian. Hati dalam arti 119Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1998, h. 30 120Al-Ghazali, Raudhoh Taman Jiwa Kaum Sufi, terj. Mohammad Lukman Hakiem, Surabaya Risalah Gusti, 1997, h. 47 yang lebih halus inilah yang disebut hakikat manusia. Hati inilah yang mengenal manusia, yang diajak bicara, yang disiksa, yang dicela dan Kedua, kata ruh, yang juga mempunyai dua arti sekaligus, arti pertama adalah fisik yang lembut, dalam, mengandung darah hitam bersumber dari lubang kalbu jasmani. Melalui otot dan tulang darah tersebut mengalir keseluruh tubuh. Pancaran cahaya kehidupan, rasa, penglihatan, pendengaran dan bau yang muncul dari ruh tersebut, yang identik dengan pancaran cahaya lampu keseluruh ruangan rumah. Kehidupan dimisalkan sebagai cahaya yang menyinari seluruh dinding, dan ruh itu sendiri adalah lampu. Mengalirnya ruh dan geraknya dalam batin semisal geraknya lampu ke sisi-sisi rumah, yang digerakkan oleh penggeraknya. Para dokter misalnya, manakala mengucapkan kata ruh, dimaksudkan arti tersebut ialah kedalaman yang lembut yang dimatangkan oleh energi kalbu, sedangkan arti kedua adalah sebagai latifah alimah yang memahamkan pada diri manusia, sekaligus sebagai salah satu arti makna qalbu, makna inilah yang dikehendaki oleh Allah dalam firman-Nya “Dan mereka bertanya kepadamu Muhammad tentang ruh, katakanlah, ruh itu termasukurusan tuhanku”QS. Al-Isra’ 85 Ketiga, nafs. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, nafs nafsu dipahami sebagai dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik, padahal dalam Al qur’an nafs tidak selalu berkonotasi negatif. Al-Nafs menurut Imam Al-Ghazali mempunyai dua arti, pertama adalah kekuatan hawa marah dan syahwat yang dimiliki oleh manusia. Pengunaan kata nafs yang terbiasa dalam tradisi sufi adalah keseluruhan sifat-sifat manusia yang tercela, karena itulah mereka sering menegaskan kata-kata, “berperang melawan nafsu dan memecah syahwat adalah suatu keharusan. Apabila nafs menenggelamkan diri dalam kejahatan, mengikuti nafsu amarah, syahwat dan godaan syetan, maka dinamakan nafs al amarah. Bahkan dalam hal ini Imam Al-Ghazali mengatakan “jadikanlah sebuah kekalahan dalam jiwamu nafs. Maksudnya adalah himbauan agar memposisikan jiwa pada poros bawah, sehingga jiwa nafs tidak merajalela menerjang syari’at. Sedangkan nafs dalam pengertian yang kedua adalah merupakan hakikat diri dan dzat manusia,122 namun disifati dengan sifat-sifat yang berbeda-beda menurut perbedaan situasi dan kondisinya. Apabila nafs berada dalam kondisi tentram di bawah perintahnya dan menolak segala bentuk syahwat, maka disebut sebagai nafsul mutmainnah sebagai mana firman-Nya “Hai nafsu yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas yang di ridha’i-Nya”QS. Al- fajr27-28. Istilah keempat adalah al aql akal. Masyarakat pada umumnya mengartikan akal sebagai pusat segala kecakapan yang dimiliki manusia, karena akal dapat menjadi tolak ukur kecakapan manusia. Adapula yang mengartikan akal dengan otak. Imam Al-Ghazali juga membagi pengertian akal menjadi dua bagian. Pertama akal merupakan pengetahuan mengenai hakikat segala sesuatu, dalam hal ini akal diibaratkan sebagai sifat ilmu yang terletak dalam hati. Adapun pengertian yang kedua adalah akal rohani yang memperoleh ilmu pengetahuan itu sendiri al mudrik li al ulum yang tak lain adalah jiwa al qalb yang bersifat halus dan menjadi esensi manusia. Penggunaan keempat istilah diatas menunjukkan bahwa kajian Al Ghazali terhadap esensi manusia sangat mendalam, menyertai sepanjang perkembangan pemikirannya. Saat berbicara tentang filsafat, ia lebih sering menggunakan kata nafs dan akal, sedangkan ruh dan qalb lebih banyak dijumpai dalam kitab-kitabnya yang ditulis setelah menekuni tasawuf. Akan tetapi hal itu tidak mengubah pandangannya tentang esensi manusia. Ditampilkannya term-term itu kemungkinan besar didasari oleh keinginan untuk menggabungkan konsep-konsep filsafat, tasawuf dan syara’, sebab kata nafs dan akal sering digunakan para sufi. Sedang dalam al-Qur’an, kata ruh, nafs dan qalb digunakan untuk kesadaran manusia, lain, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa tabi’at manusia ada empat unsur yang menjelma dalam sifat yang dikenal dengan nama kebinatangan, kekasaran, kesetanan, dan kemalaikatan kesucian124. Oleh karena itu, tidak heran apabila dalam tabi’at seseorang muncul perbuatanperbuatan seperti babi, syetan dan alim. Dalam hal ini, bukan berarti setiap perbuatan manusia yang mencerminkan binatang disebabkan mutlak karena unsur yang ada didalamnya. Akan tetapi manusia dengan dikaruniai akal adalah untuk berfikir. Akal yang bersih bila dimiliki selalu bertujuan menolak hal hal yang buruk yang ada pada setan. 123Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan, Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa menurut Al-Ghazali esensi manusia subtansi immaterial yang berdiri sendiri, bersifat ilahi berasal dari alam al amr, tidak bertempat didalam badan, bersifat sederhana, mempunyai kemampuan mengetahui dan menggerakkan badan, diciptakan, dan bersifat kekal pada dirinya. Ia berusaha menunjukkan bahwa keberadaan jiwa dan sifat-sifat dasarnya tidak dapat diperoleh melalui akal saja, tetapi dengan akal bersama syara’.125 Salah satu umat Islam yang memiliki ide-ide hebat dan dikenal sebagai pembaharu mujaddid, antara lain adalah Al-Gazali. Kondisi sosial budaya pada saat itu, yaitu munculnya ketidakstabilan politik yang berdampak pada fragmentasi umat Islam, penghancuran agama dan Situasi ini membuatnya menjadi pahlawan dan Pembela Islam Argumentator hujjah al-Islam sebagai tanggung jawabnya untuk memperbaiki pikiran buta dan tindakan yang mengguncang kehidupan Muslim. Di antara tujuan pendidikan yaitu sebagai media dalam membangun kedekatan pada Allah swt. Sehingga, kurikulum yang disajikan harus mencakup tiga istilah, yang disebut jasmaniyah, 'aqliyyah dan akhlaqiyyah. Pendapat ini didasarkan pada dua pendekatan, Fiqhdan Sufisme. Pemikiran ini tampak sistematis dan komprehensif, serta konsisten dengan sikap dan kepribadian sebagai Sufi dan Faqih. Konsep pendidikan yang ditawarkan, jika diterapkan di masa sekarang tampaknya masih sesuai. Disamping 125M. Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, JakatraRaja Grafindo Persada. 1996, 126Rosif,Dialektika Pendidikan Etika Dalam Islam Analisis Pemikiran Ibnu Maskawaih. Jurnal Pendidikan Agama Islam, III2, 393-417. itu, kebutuhan harus disempurnakan sesuai dengan pengetahuan lokal di mana pendidikan dilaksanakan. Sampai saat ini, pemikiran Islam yang dikemukakan oleh Al-Ghazali merupakan sekolah yang dominan dalam hal teori dan praktik Islam dan, khususnya, Islam Sunni. Dengan perawakan intelektualnya yang luar biasa dan pengetahuan ensiklopediknya, Al-Ghazali telah mempengaruhi pemikiran Islam dan mendefinisikan praktiknya selama hampir sembilan abad. Dia adalah perwakilan dari 'perdamaian Islam'. Selama tiga dekade terakhir, arus baru 'Islam agresif' telah muncul dan berkembang pesat, dan berusaha untuk menguasai dunia Islam. Beberapa pengamat melihat tren ini sebagai gerakan kebangkitan baru, sementara yang lain menganggapnya sebagai ancaman tidak hanya bagi negara-negara Islam, tetapi ke seluruh dunia, dan sumber destabilisasi, membawa Islam dan Muslim kembali empat belas abad. Gerakan baru ini mengambil landasan intelektualnya dari ajaran Abu-l-A'la al-Maududi, Sayyid Qutb dan Ruhollah Khomeini, serta pengikut garis keras mereka yang aktif di sejumlah negara. Ia mengadvokasi proklamasi masyarakat sebagai tidak senonoh, penghapusan paksa rezim-rezim yang ada, perebutan kekuasaan dan perubahan radikal dalam gaya hidup sosial; itu agresif dalam penolakannya terhadap peradaban modern. Para pakar tren ini berpendapat bahwa Islam, yang dianut dan dipraktekkan selama berabadabad, memberikan solusi untuk semua masalah politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan yang dihadapi dunia Arab dan Islam, dan memang seluruh planet. Perjuangan antara pemikiran al-Ghazali dan al-Maududi masih berjalan dan mungkin menjadi salah satu faktor terpenting dalam membentuk masa depan dunia Arab dan Islam. Apa pun hasil pergulatan ini, al-Ghazali tetap menjadi salah satu filsuf paling berpengaruh meskipun ia keberatan untuk digambarkan seperti itu dan pemikir tentang pendidikan dalam sejarah Islam. Biografi-Nya sebagai seorang siswa dalam pencarian pengetahuan, sebagai seorang guru yang menyebarkan pengetahuan dan sebagai seorang sarjana yang mengeksplorasi pengetahuan memberikan ilustrasi yang baik tentang cara hidup siswa, guru, dan sarjana di dunia Islam pada Abad Pertengahan 19. Al-Ghazali menyamakan pendidikan moral dengan habituasi. Kausalitas memegang tempat yang menonjol dalam landasan filosofis dari teorinya tentang pendidikan moral. Meskipun Al-Ghazali merekomendasikan pendidik untuk menggunakan habituasi untuk mengembangkan kebajikan, ia akhirnya menyatakan bahwa tidak ada hubungan kausal tertentu antara pendidikan moral dan pembiasaan dan orang harus berharap untuk bantuan Tuhan dan menyampaikan Rahmat-Nya. Al-Ghazali melihat jika anak berupaya menerima ajaran dan pembiasaan hidup yang baik, maka ia menjadi baik, begitu pula sebaliknya. Konsep yang ditawarkan oleh Al-Ghazali yaitu a. Tujuan Pendidikan. Dalam pandangan Al-Ghazali tujuan pendidikan sebagai media untuk lebih membangun kedekatan dengan Allah SWT. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kedengkian, kebencian dan permusuhan. Rumusan ini akan membangun sikap zuhud dan adanya sifat qana’ah. b. Pendidik. Konsep Al-Ghazali terhadap kriteria seorang pendidik. Antara lain 1 Guru memiliki kewajiban untuk mencintai muridnya seperti anaknya. 2 Guru diharapkan memiliki keikhlasan dalam mengajar dengan tidak mengharapkan imbalan dari pekerjaannya sebagai guru. Imbalan yang diperolehnya berupa pengemalan ilmu pengetahuan yang diperolehnya oleh anak didik. 3 Guru memiliki kewajiban untuk memberikan motivasi supaya mencari ilmu yang memiliki manfaat baik dunia maupun akhirat. 4 Dalam melakukan proses pengajaran guru harus mampu menyesuaikan kemapuan integensi yang dimiliki oleh anak didik. 5 Guru memiliki kewajiban dalam memberi contoh etika dan keteladanan dalam bersikap seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati dan berakhlaq mulia. 6 Guru harus menanamkan hakikat keimanan pada anak didiknya, sehingga akal fikirannya diwarnai dengan nilai-nilai keimanan. Dalam pandangan al-Ghazali, hakikat manusia memiliki tiga kekuatan, diantaranya pengetahuan, emosi dan ambisi. Dan diantara tiga kekuatan itu yang menjadi utama adalah kekuatan pengetahuan. Konsep akhlak yang di bangun oleh Al-Ghazali adalah adalah doktrin jalan tengah sebagai dasar keutamaan akhlak diataranya arif, penahanan nafsu, berani, dan adil, serta yang menjadi ukurannya adalah akal dan syariat. Pendidikan Akhlak mulia memiliki tujuan terbentuknya manusia yang memiliki kezuhudan duniawai dan memiliki cinta pada Allah SWT, serta memiliki kemampuan dalam mengendalikan emosi dengan tunduk pada akal dan syariat. Materi pendidikan akhlak yang ditawarkan adalah bentuk-bentuk akhlak terpuji dalam pandangan syariat sedangkan metodenya yaitu bentuk anugerah Ilahi dan kesempurnaan fitri, pembiasaan, mujahadah, serta riyaah. Dengan demikian al-Ghazali menempatkan orang tua sebagai pendidik awal dalam membentuk akhlak anak. Sebab setiap anak yang dilahirkan masih suci dari segala jenis dosa dan kesalahan. Bagi al-Ghazali orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah yang baik bagi anak karena pasti memiliki pengaruh dalam proses pembentukan akhlaknya. Al-Ghazali membagi sistem pendidikan akhlak menjadi dua yaitu sistem pendidikan formal dan pendidikan non formal. Sistem pendidikan non formal diawali dalam pendidikan lingkungan keluarga dan faktor makanan dan minuman yang yang di konsumsinya. Pendidikan keluarga dalam pandangan al-Ghazali memegang peran yang sangat penting dalam menyiapkan pribadi anak yang memiliki moralitas yang baik. Orang tua memiliki kewajiban untuk memperhatikan perkembangan fisik dan psikis anak, dimulai dari pada saat anak sudah bisa membedakan sesuatu tamyiz sampai pada tingkat pergaulan lingkungan sosial anak. Sistem pendidikan keluarga yang dibangun oleh al-Ghazali tidak lepas dari keteladanan orang tua dalam memberikan pembiasaan reward dan punisment. Anak membutuhkan pujian atau reward manakala memberikan prestasi perkembangan akademik maupun perilakunya misalnya kemampuan menghafal Al quran dan hadits begitu pula sebaliknya anak akan memperoleh punisment atau hukuman ketika ada kesepakatan orang tua dan anak yang tidak ditaati. Di samping pola asuh yang menjadi esensi dari pemikiran al-Ghazali terhadap pembentukan kepribadian anak, faktor lain yang menjadi penentu adalah makanan dan minuman yang diberikan orang tua pada anak. Faktor makanan dan minuman memiliki pengaruh terhadap perkembangan psikis anak. Pada aspek Pendidikan formal yang tawarkan oleh al-Ghazali dalam pembentukan kepribadian anak terletak pada kompetensi guru atau mursyid. Guru diangap memiliki peran yang cukup signifikan dalam membangun keilmuan yang diberikan pada muridnya. Dalam Hal ini al-Ghazali memberikan beberapa syarat bagi seorang guru atau mursyid sebelum memberikan pengajaran pada muridnya antara lain guru wajib menjadi suri tauladan yang baik sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah. Guru diharapkan tidak menerima imbalan apapun terhadap apa yang diajarkan dan memiliki tanggung jawab terhadap keilmuan yang diajarkan pada muridnya. Selanjutnya murid memiliki kewajiban untuk lebih menjaga kebersihan hati, tidak memiliki kesombongan dari ilmu yang diperolehnya. Konsep pemikiran Al-Ghazali diatas sungguhnya memiliki tujuan supaya lebih diniatkan untuk menjaga kedekatan dengan Allah tidak untuk mengharapkan kepemimpinan, harta dan pangkat.
ADALAH Syeikh Imam al Ghazali atau bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafii adalah ulama produktif. Tidak kurang 228 kitab telah ditulisnya, meliputi berbagai disiplin ilmu; tasawuf, fikih, teologi, logika, hingga filsafat. Sang Hujjatul Islam julukan ini diberikan karena kemampuan daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah ini sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah, yang merupakan pusat kebesaran Islam. Al Ghazali pernah membagi manusia menjadi empat 4 golongan; Golongan Pertama; Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri ~ Yaitu orang yang Tahu berilmu, dan dia Tahu kalau dirinya Tahu. Orang ini bisa disebut alim = mengetahui. Kepada orang ini yang harus kita lakukan adalah mengikutinya. Apalagi kalau kita masih termasuk dalam golongan orang yang awam, yang masih butuh banyak diajari, maka sudah seharusnya kita mencari orang yang seperti ini, duduk bersama dengannya akan menjadi pengobat hati. “Ini adalah jenis manusia yang paling baik. Jenis manusia yang memiliki kemapanan ilmu, dan dia tahu kalau dirinya itu berilmu, maka ia menggunakan ilmunya. Ia berusaha semaksimal mungkin agar ilmunya benar-benar bermanfaat bagi dirinya, orang sekitarnya, dan bahkan bagi seluruh umat manusia. Manusia jenis ini adalah manusia unggul. Manusia yang sukses dunia dan akhirat,” ujarnya. Golongan Kedua; Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri ~ Yaitu orang yang Tahu berilmu, tapi dia Tidak Tahu kalau dirinya Tahu. Untuk model ini, bolehlah kita sebut dia seumpama orang yang tengah tertidur. Sikap kita kepadanya membangunkan dia. Manusia yang memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari kalau dirinya memiliki ilmu dan kecakapan. Manusia jenis ini sering kita jumpai di sekeliling kita. Terkadang kita menemukan orang yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa, tapi ia tidak tahu kalau memiliki potensi. Karena keberadaan dia seakan gak berguna, selama dia belum bangun manusia ini sukses di dunia tapi rugi di akhirat. Golongan Ketiga; Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri ~ Yaitu orang yang tidak tahu tidak atau belum berilmu, tapi dia tahu alias sadar diri kalau dia tidak tahu . Menurut Imam Ghazali, jenis manusia ini masih tergolong baik. Sebab, ini jenis manusia yang bisa menyadari kekurangannnya. Ia bisa mengintropeksi dirinya dan bisa menempatkan dirinya di tempat yang sepantasnya. Karena dia tahu dirinya tidak berilmu, maka dia belajar. Dengan belajar itu, sangat diharapkan suatu saat dia bisa berilmu dan tahu kalau dirinya berilmu. Manusia seperti ini sengsara di dunia tapi bahagia di akhirat. Golongan Keempat; Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri ~ Yaitu orang yang Tidak Tahu tidak berilmu, dan dia Tidak Tahu tidak tahu diri kalau dirinya Tidak Tahu. Menurut Imam Ghazali, inilah adalah jenis manusia yang paling buruk. Ini jenis manusia yang selalu merasa mengerti, selalu merasa tahu, selalu merasa memiliki ilmu, padahal ia tidak tahu apa-apa. Repotnya manusia jenis seperti ini susah disadarkan, kalau diingatkan ia akan membantah sebab ia merasa tahu atau merasa lebih tahu. Jenis manusia seperti ini, paling susah dicari kebaikannya. Manusia seperti ini dinilai tidak sukses di dunia, juga merugi di akhirat. Untuk itu mari kita intropeksi diri masing-masing, di kelompak manakah kita berada. Semoga Bermanfaat.*/Kholili Hasib ____________See more >>